Selasa, 28 November 2023

CERPEN KHOIRIYAH BALQIS

 

Langit

Aku menyukai langit. Termasuk segala miliknya, dari awan, bintang, bulan, planet maupun galaksi. Apapun warnanya putih, biru, oranye maupun hitam. Apapun cuacanya cerah, panas, berawan maupun hujan. Kapanpun waktunya baik pagi, siang, sore maupun malam. Terima kasih langit, untuk keberadaanmu yang selalu ada untukku.

Aku menyukai langit. Ada kalanya langit terasa dekat denganku. Aku mengulurkan tanganku ke atas. Berusaha ingin menggapainya. Berharap langit segera membalasnya. Aku menyadari langit masih belum bisa kugapai. Hingga, berdirilah Aku di tempat tertinggi. Akan tetapi, dari tempat tertinggi pun, Aku tidak bisa menggapainya. Hingga datang suatu pemahaman dari diriku. Pantaskah Aku menggapainya?

Aku menyukai langit. Aku menyadari bahwa langit begitu jauh nan tinggi. Aku tidak akan mampu menggapainya. Kesadaran ini membuatku jatuh dari tempat tertinggi untuk menggapainya. Jatuh dalam kekecewaan karena kegagalan. Aku jatuh begitu dalam dan tanpa menyadari diriku sudah tertelan oleh kegelapan pada tempat yang begitu dalam, hampa dan sepi.

:*:

Aku membenci langit. Kekosongan ini adalah diriku. Begitu sesuai dan rekat karena diriku kala itu yang berambisi, memaksakan langit menjadi milikku. Aku hanyalah manusia kecil baginya dan tidak memiliki pengaruh untuk meminta dirinya. Langit telah menolak diriku. Aku merasa sedih dan kecewa. Aku merasa sangat dirugikan oleh dirinya atas penolakan keinginanku.

Aku membenci langit. Di dalam tempat penuh keputusasaan ini, Aku akan berusaha menikmatinya. Aku melangkahkan kakiku tanpa sadar, tidak peduli arah tujuannya. Aku terus melangkah. Tidak memedulikan rasa lapar, sakit, dendam maupun amarah. Tanpa sadar, Aku sudah begitu jauh, sangat jauh dan siap jatuh tenggelam lebih dalam. Aku memang bodoh. Aku tidak bisa berenang, tetapi tetap membiarkan diriku menyelam lebih dalam. Aku menyadari bahwa diriku sudah terlalu banyak menerima luka akibat kesalahan kakiku melangkah. Akhirnya, Aku menghela nafas panjang. Mungkin di sinilah akhir dari perjalananku. Di saat itu pula, Aku dapat melihatnya.

:*:

Aku membenci langit. Karena dialah yang menyebabkan diriku ada di tempat ini. Tetapi, dari sini Aku dapat melihatnya. Sebuah cahaya kecil temaram. Aku mencabut kakiku yang hampir tenggelam dengan sekuat tenaga. Kini Aku mengejar cahaya itu, berharap dia segera menolongku dari kegelapan yang menyakitkan. Rasa sakit di kakiku kiat amat terasa, tetapi tetap ku paksakan untuk berlari mengejarnya. Di dalam kegelapan Aku berteriak menahan rasa sakit. Aku terus berlari, sempat terseok-seok, terjatuh demi mengejarnya.

Aku membenci langit. Apakah itu langit? Biarlah, akan kulupakan sejenak kebencian terhadap langit. Demi sebuah cahaya. Cahaya itu semakin membesar. Aku berusaha mendekatinya, dan semakin membesar. Senyum bahagia tercipta pada wajah muram ku. Lama-kelamaan cahaya itu berada di sekelilingku. Aku dapat menikmati angin yang menyejukkan, cahaya matahari yang menghangatkan, awan-awan yang membentuk indah, dedaunan yang begitu harum, tanah gembur setelah hujan. Dan di atas, terdapat dia yang telah menolongku dari kegelapan, saat ini dia tengah 'tersenyum'.

:*:

Aku membenci langit. Saat ini Aku terduduk dan menunduk dalam. Menangis, mengeluarkan segala penyesalan yang begitu dalam dari nuraniku. Langit hanya memandangi diriku yang menyedihkan ini dengan senyuman penuh sambutan yang hangat. Pembalasan langit membuat hatiku begitu hancur. Aku makin menangis, berteriak kencang dan memukul-mukul tanah.

Aku membenci langit. Tetapi langit malah memerintah angin untuk mengangkat tubuh kecilku. Aku begitu terkejut ketika tubuhku begitu jauh oleh tanah terbawa angin. Aku melayang-layang seolah-olah hanya sebuah daun kecil yang terlepas dari ranting. Meskipun Aku takut, tetapi angin membawa tubuhku dengan nyaman. Dia membawaku dekat bersama awan-awan dan bintang-bintang yang juga menyambutku dengan penuh kebahagiaan.

:*:

Kini Aku berada di depannya. Langit.

Aku membenci langit. Langit hanya ‘tersenyum’ menatapku. Awan-awannya bergerak mengelilingi tubuhku yang rapuh. Mereka membersihkan pakaianku, bahkan menyembuhkan lukaku. Rasa nyaman kembali menguar dihatiku, sama seperti rasa  ketika Aku masih menyukai langit. Tetapi, Aku menampis dengan keras awan-awan lembut itu. Aku tidak akan menerima segala kebaikannya lagi, sebelum dia kembali menjatuhkan diriku kembali.

Aku membenci langit dan awan-awan. Awan-awan menjauhi diriku karena ketakutan. Berbeda dengan langit yang tetap ‘tersenyum’ kepadaku. Tetapi, Aku tidak akan terjebak lagi. Aku tidak akan terbohongi lagi dengan rupamu yang penuh pesona. Aku mengumpulkan kegelapan dalam diriku untuk mengalahkan sinarnya. Langit tetaplah langit, dengan segala kemampuannya mudah saja dia menjatuhkan diriku.

Aku membenci langit. Langit berada di dekatku. Begitu dekat. Apakah dia akan membunuhku karena telah membencinya. Ini menyenangkan. Aku tertawa dengan keras. Aku akan menyambut kematianku dengan penuh kebahagiaan.

Aku membenci langit. Aku benar-benar membenci langit. Langit yang begitu kupuja, membuangku ketika aku benar-benar menyukainya. Aku sering mengucapkan sumpah serapah terhadap langit. Dan Aku meyakini langit pasti mendengarku dan kami pasti saling membenci. Aku tertawa ketika langit makin mendekat. Aku tidak mengetahui bagaimana ekspresinya, karena tertutup oleh awan-awan dan angin yang selalu mendekatinya.

:*:

Aku benar-benar membenci langit. Mulutku terus tertawa. Seolah-olah menikmati waktu sebelum kematianku. Aku siap. Aku siap pergi. Langit, kau pasti membenciku. Maka bunuhlah diriku ini! Bunuh! Buang topeng kemunafikanmu! Tidak perlu memaksakan sambutan hangat untukku. Tidak perlu menyambutku. Karena Aku tidak akan pernah kembali padamu, langit!

Aku membenci langit. Langit bersama awan-awan dan angin bergerak cepat ke arahku. Aku memejamkan kedua mataku dengan erat. Aku menunggu lama untuk siksa akan kematianku. Tapi, hal itu tidak kurasakan. Aku tidak mendapatkannya. Langit 'merengkuh’ tubuh kecilku di dalam dekapannya. Aku kembali merasakan perasaan sukaku pada langit. Langit merubah dirinya menjadi warna biru fajar yang sejuk. Menenangkan. Ah, tunggu, mengapa– mengapa Aku menangis?

Aku dapat merasakan langit ‘berbicara' padaku, “Hai, Nila. Saya sangat bersyukur, karena saat ini Saya dapat menggapaimu. Maafkan Saya dulu, yang tidak membalas uluran tanganmu. Apakah kamu mengetahui, Nila? Tanpa kamu menggapai diri Saya, Saya adalah milikmu. Tetapi, Saya tidak boleh memilikimu. Saya hanya boleh memiliki benda-benda langit saja. Saya milikmu, Nila. Jadikanlah, Saya sebagai milikmu.

Rengkuhan langit membuatku rapuh. Tidak! Aku tidak boleh kembali dalam kesesatannya lagi. Jika kamu bertanya, apa saya membencimu? Maka jawabannya tidak, Nila. Malahan, Saya menyukaimu. Bahkan, mencintaimu Nila. Caramu memperlakukan diri Saya dengan penuh usaha. Memberikan kesempatan bagi Saya untuk selalu ada dihatimu. Menyukai Saya dengan cara apa adanya. Terima kasih, Nila. Walaupun berjuta-juta kali, kamu menegaskan bahwa kamu membenci Saya. Saya akan selalu ada untukmu, Nila. Saya mencintaimu.

Aku membenci langit. Selamanya. Kebaikan dari dirimu yang naif membuat diriku makin membencimu. Pernyataan cintamu seolah-olah merendahkan diriku. Maka langit, Aku mengucapkan terima kasih atas cintamu padaku. Terima kasih dengan cara cintamu yang amat berbeda. Tetapi, Aku tidak pantas menerima cintamu, langit. Aku menghela nafas panjang. Inilah pilihanku langit.

:*:

Aku membenci langit. Warna langit langsung berubah mendung, menunjukkan kesedihan akibat cintanya yang Aku hempaskan. Angin menurunkan diriku dengan sendu. Planet dan bintang ikut sedih atas keputusanku. Awan-awan berubah menjadi hitam gelap, siap menurunkan hujan kesedihan. Kesedihan langit juga berdampak di bumi. Setelah, angin mendaratkan diriku.

Aku membenci langit. Sebelumnya, Aku merasa bahagia menikmati rintik hujan. Kini hujan terasa lengket dan dingin. Aku tetap berdiri di tempat angin mendaratkan diriku. Aku tetap menatap langit dengan pandangan kosong. Tidak peduli dengan mataku yang sakit akibat tetesan hujan. Aku dapat merasakan air mataku mengalir kembali menyatu dengan air hujan.

Aku membenci langit. Warna langit yang senja mengingatkan diriku pada matahari. Aku melangkahkan kakiku menuju cahaya matahari. Aku berdiri di ujung bebatuan besar yang tinggi, agar bisa menatap langit sepuasku. Langit tetap indah seperti biasanya. Langit penuh warna jingga dan kuning, matahari penuh kehangatan, awan-awan rapi yang bersusun, angin kecil yang menggelitik, pelangi warna-warni setelah hujan, dan tidak lupa pula pemandangan hijau penuh dedaunan di bawahku. Sangat indah. Tanganku terulur berusaha untuk menggapainya kembali. Tanpa memedulikan langkahku.

Aku tetap menyukai langit. Tetapi, Aku tidak lagi menikmati keindahannya. Langit, Aku sampaikan terima kasih banyak kepada dirimu. Aku sudah menyerah. Aku tidak ingin memilikimu lagi. Aku tidak ingin jiwaku jatuh lagi. Aku merasa lelah. Maka, biarkan fisikku saja yang jatuh, agar Aku tidak mengharapkan lagi dirimu.

Aku mencintaimu, langit.

:*:

Bionarasi

Assalamu’alaikum

Haii! Aku biasa dipanggil Balqis. Untuk umurku? Intinya Aku masih belum boleh buat KTP. Aku tinggal di rumah orang tuaku, tepatnya di Singosari, Malang. Cita-citaku ingin kaya dan hidup bahagia bersama kucing di surga—amiin—. Hobiku bermain-main dengan bahagia. Aku suka sate dan air putih. Aku bersekolah di MA Al ma’arif Singosari kelas XI IPS 2.

Karya berjudul ‘Langit' ini adalah tugas cerpen Bahasa Indonesia dari Pak Indra. Dan idola saya dalam dunia literasi adalah Tere Liye dan Leila Salikha Chudori. Pesan dariku adalah jangan lupa minum air putih—kecuali pas poso–.

Jika ada yang ingin ditanyakan kepada saya, hubungi khoiriyahbalqis01@gmail.com. Oke?

Wassalamualaikum 🙏

1 komentar:

RESENSI AFIQ HUSNATU ZAHRA

 RESENSI NOVEL  Judul laut bercerita  Penulis:Kelas.chudori  “Laut Bercerita” adalah sebuah novel karya Leila S. Chudori yang diterbitkan p...