Langit
Aku menyukai langit. Termasuk
segala miliknya, dari awan, bintang, bulan, planet maupun galaksi. Apapun
warnanya putih, biru, oranye maupun hitam. Apapun cuacanya cerah, panas,
berawan maupun hujan. Kapanpun waktunya baik pagi, siang, sore maupun malam. Terima
kasih langit, untuk keberadaanmu yang selalu ada untukku.
Aku menyukai langit. Ada
kalanya langit terasa dekat denganku. Aku mengulurkan tanganku ke atas.
Berusaha ingin menggapainya. Berharap langit segera membalasnya. Aku menyadari
langit masih belum bisa kugapai. Hingga, berdirilah Aku di tempat tertinggi.
Akan tetapi, dari tempat tertinggi pun, Aku tidak bisa menggapainya. Hingga
datang suatu pemahaman dari diriku. Pantaskah Aku menggapainya?
Aku menyukai langit. Aku
menyadari bahwa langit begitu jauh nan tinggi. Aku tidak akan mampu
menggapainya. Kesadaran ini membuatku jatuh dari tempat tertinggi untuk
menggapainya. Jatuh dalam kekecewaan karena kegagalan. Aku jatuh begitu dalam
dan tanpa menyadari diriku sudah tertelan oleh kegelapan pada tempat yang
begitu dalam, hampa dan sepi.
・:*:・
Aku membenci langit. Kekosongan
ini adalah diriku. Begitu sesuai dan rekat karena diriku kala itu yang
berambisi, memaksakan langit menjadi milikku. Aku hanyalah manusia kecil
baginya dan tidak memiliki pengaruh untuk meminta dirinya. Langit telah menolak
diriku. Aku merasa sedih dan kecewa. Aku merasa sangat dirugikan oleh dirinya
atas penolakan keinginanku.
Aku membenci langit. Di dalam
tempat penuh keputusasaan ini, Aku akan berusaha menikmatinya. Aku melangkahkan
kakiku tanpa sadar, tidak peduli arah tujuannya. Aku terus melangkah. Tidak memedulikan
rasa lapar, sakit, dendam maupun amarah. Tanpa sadar, Aku sudah begitu jauh,
sangat jauh dan siap jatuh tenggelam lebih dalam. Aku memang bodoh. Aku tidak
bisa berenang, tetapi tetap membiarkan diriku menyelam lebih dalam. Aku
menyadari bahwa diriku sudah terlalu banyak menerima luka akibat kesalahan kakiku
melangkah. Akhirnya, Aku menghela nafas panjang. Mungkin di sinilah akhir dari
perjalananku. Di saat itu pula, Aku dapat melihatnya.
・:*:・
Aku membenci langit. Karena
dialah yang menyebabkan diriku ada di tempat ini. Tetapi, dari sini Aku dapat melihatnya.
Sebuah cahaya kecil temaram. Aku mencabut kakiku yang hampir tenggelam dengan
sekuat tenaga. Kini Aku mengejar cahaya itu, berharap dia segera menolongku
dari kegelapan yang menyakitkan. Rasa sakit di kakiku kiat amat terasa, tetapi
tetap ku paksakan untuk berlari mengejarnya. Di dalam kegelapan Aku berteriak
menahan rasa sakit. Aku terus berlari, sempat terseok-seok, terjatuh demi
mengejarnya.
Aku membenci langit. Apakah
itu langit? Biarlah, akan kulupakan sejenak kebencian terhadap langit. Demi
sebuah cahaya. Cahaya itu semakin membesar. Aku berusaha mendekatinya, dan
semakin membesar. Senyum bahagia tercipta pada wajah muram ku. Lama-kelamaan
cahaya itu berada di sekelilingku. Aku dapat menikmati angin yang menyejukkan,
cahaya matahari yang menghangatkan, awan-awan yang membentuk indah, dedaunan
yang begitu harum, tanah gembur setelah hujan. Dan di atas, terdapat dia yang
telah menolongku dari kegelapan, saat ini dia tengah 'tersenyum'.
・:*:・
Aku membenci langit. Saat ini Aku
terduduk dan menunduk dalam. Menangis, mengeluarkan segala penyesalan yang
begitu dalam dari nuraniku. Langit hanya memandangi diriku yang menyedihkan ini
dengan senyuman penuh sambutan yang hangat. Pembalasan langit membuat hatiku
begitu hancur. Aku makin menangis, berteriak kencang dan memukul-mukul tanah.
Aku membenci langit. Tetapi langit
malah memerintah angin untuk mengangkat tubuh kecilku. Aku begitu terkejut
ketika tubuhku begitu jauh oleh tanah terbawa angin. Aku melayang-layang
seolah-olah hanya sebuah daun kecil yang terlepas dari ranting. Meskipun Aku
takut, tetapi angin membawa tubuhku dengan nyaman. Dia membawaku dekat bersama
awan-awan dan bintang-bintang yang juga menyambutku dengan penuh kebahagiaan.
・:*:・
Kini Aku berada di depannya.
Langit.
Aku membenci langit. Langit
hanya ‘tersenyum’ menatapku. Awan-awannya bergerak mengelilingi tubuhku yang
rapuh. Mereka membersihkan pakaianku, bahkan menyembuhkan lukaku. Rasa nyaman
kembali menguar dihatiku, sama seperti rasa
ketika Aku masih menyukai langit. Tetapi, Aku menampis dengan keras
awan-awan lembut itu. Aku tidak akan menerima segala kebaikannya lagi, sebelum
dia kembali menjatuhkan diriku kembali.
Aku membenci langit dan
awan-awan. Awan-awan menjauhi diriku karena ketakutan. Berbeda dengan langit
yang tetap ‘tersenyum’ kepadaku. Tetapi, Aku tidak akan terjebak lagi. Aku
tidak akan terbohongi lagi dengan rupamu yang penuh pesona. Aku mengumpulkan
kegelapan dalam diriku untuk mengalahkan sinarnya. Langit tetaplah langit,
dengan segala kemampuannya mudah saja dia menjatuhkan diriku.
Aku membenci langit. Langit
berada di dekatku. Begitu dekat. Apakah dia akan membunuhku karena telah
membencinya. Ini menyenangkan. Aku tertawa dengan keras. Aku akan menyambut
kematianku dengan penuh kebahagiaan.
Aku membenci langit. Aku
benar-benar membenci langit. Langit yang begitu kupuja, membuangku ketika aku
benar-benar menyukainya. Aku sering mengucapkan sumpah serapah terhadap langit.
Dan Aku meyakini langit pasti mendengarku dan kami pasti saling membenci. Aku
tertawa ketika langit makin mendekat. Aku tidak mengetahui bagaimana
ekspresinya, karena tertutup oleh awan-awan dan angin yang selalu mendekatinya.
・:*:・
Aku benar-benar membenci
langit. Mulutku terus tertawa. Seolah-olah menikmati waktu sebelum kematianku.
Aku siap. Aku siap pergi. Langit, kau pasti membenciku. Maka bunuhlah diriku
ini! Bunuh! Buang topeng kemunafikanmu! Tidak perlu memaksakan sambutan hangat
untukku. Tidak perlu menyambutku. Karena Aku tidak akan pernah kembali padamu,
langit!
Aku membenci langit. Langit
bersama awan-awan dan angin bergerak cepat ke arahku. Aku memejamkan kedua
mataku dengan erat. Aku menunggu lama untuk siksa akan kematianku. Tapi, hal
itu tidak kurasakan. Aku tidak mendapatkannya. Langit 'merengkuh’ tubuh kecilku
di dalam dekapannya. Aku kembali merasakan perasaan sukaku pada langit. Langit
merubah dirinya menjadi warna biru fajar yang sejuk. Menenangkan. Ah, tunggu, mengapa–
mengapa Aku menangis?
Aku dapat merasakan langit
‘berbicara' padaku, “Hai, Nila. Saya sangat bersyukur, karena saat ini Saya
dapat menggapaimu. Maafkan Saya dulu, yang tidak membalas uluran tanganmu. Apakah
kamu mengetahui, Nila? Tanpa kamu menggapai diri Saya, Saya adalah milikmu.
Tetapi, Saya tidak boleh memilikimu. Saya hanya boleh memiliki benda-benda
langit saja. Saya milikmu, Nila. Jadikanlah, Saya sebagai milikmu.
Rengkuhan langit membuatku
rapuh. Tidak! Aku tidak boleh kembali dalam kesesatannya lagi. Jika kamu
bertanya, apa saya membencimu? Maka jawabannya tidak, Nila. Malahan, Saya
menyukaimu. Bahkan, mencintaimu Nila. Caramu memperlakukan diri Saya dengan
penuh usaha. Memberikan kesempatan bagi Saya untuk selalu ada dihatimu. Menyukai
Saya dengan cara apa adanya. Terima kasih, Nila. Walaupun berjuta-juta kali,
kamu menegaskan bahwa kamu membenci Saya. Saya akan selalu ada untukmu, Nila.
Saya mencintaimu.
Aku membenci langit.
Selamanya. Kebaikan dari dirimu yang naif membuat diriku makin membencimu. Pernyataan
cintamu seolah-olah merendahkan diriku. Maka langit, Aku mengucapkan terima
kasih atas cintamu padaku. Terima kasih dengan cara cintamu yang amat berbeda. Tetapi,
Aku tidak pantas menerima cintamu, langit. Aku menghela nafas panjang. Inilah
pilihanku langit.
・:*:・
Aku membenci langit. Warna
langit langsung berubah mendung, menunjukkan kesedihan akibat cintanya yang Aku
hempaskan. Angin menurunkan diriku dengan sendu. Planet dan bintang ikut sedih
atas keputusanku. Awan-awan berubah menjadi hitam gelap, siap menurunkan hujan
kesedihan. Kesedihan langit juga berdampak di bumi. Setelah, angin mendaratkan
diriku.
Aku membenci langit.
Sebelumnya, Aku merasa bahagia menikmati rintik hujan. Kini hujan terasa lengket
dan dingin. Aku tetap berdiri di tempat angin mendaratkan diriku. Aku tetap
menatap langit dengan pandangan kosong. Tidak peduli dengan mataku yang sakit
akibat tetesan hujan. Aku dapat merasakan air mataku mengalir kembali menyatu
dengan air hujan.
Aku membenci langit. Warna
langit yang senja mengingatkan diriku pada matahari. Aku melangkahkan kakiku
menuju cahaya matahari. Aku berdiri di ujung bebatuan besar yang tinggi, agar
bisa menatap langit sepuasku. Langit tetap indah seperti biasanya. Langit penuh
warna jingga dan kuning, matahari penuh kehangatan, awan-awan rapi yang
bersusun, angin kecil yang menggelitik, pelangi warna-warni setelah hujan, dan
tidak lupa pula pemandangan hijau penuh dedaunan di bawahku. Sangat indah.
Tanganku terulur berusaha untuk menggapainya kembali. Tanpa memedulikan
langkahku.
Aku tetap menyukai langit. Tetapi,
Aku tidak lagi menikmati keindahannya. Langit, Aku sampaikan terima kasih
banyak kepada dirimu. Aku sudah menyerah. Aku tidak ingin memilikimu lagi. Aku
tidak ingin jiwaku jatuh lagi. Aku merasa lelah. Maka, biarkan fisikku saja
yang jatuh, agar Aku tidak mengharapkan lagi dirimu.
Aku mencintaimu, langit.
・:*:・
Bionarasi
Assalamu’alaikum
Haii! Aku biasa dipanggil
Balqis. Untuk umurku? Intinya Aku masih belum boleh buat KTP. Aku tinggal di
rumah orang tuaku, tepatnya di Singosari, Malang. Cita-citaku ingin kaya dan
hidup bahagia bersama kucing di surga—amiin—. Hobiku bermain-main dengan
bahagia. Aku suka sate dan air putih. Aku bersekolah di MA Al ma’arif Singosari
kelas XI IPS 2.
Karya berjudul ‘Langit' ini
adalah tugas cerpen Bahasa Indonesia dari Pak Indra. Dan idola saya dalam dunia
literasi adalah Tere Liye dan Leila Salikha Chudori. Pesan dariku adalah jangan
lupa minum air putih—kecuali pas poso–.
Jika ada yang ingin ditanyakan
kepada saya, hubungi khoiriyahbalqis01@gmail.com.
Oke?
Wassalamualaikum 🙏
Tugas yang dikerjakan sudah baik. Tetap semangat menulis!
BalasHapus